Senin, 31 Agustus 2009

Kleptomania Dorongan Mencuri Tiba-Tiba

Dokter, saya mengalami kesulitan dengan anak saya. Ia sekarang berumur 20 tahun. Sejak SD saya sering mendapat pengaduan dari gurunya kalau anak saya suka mengambil barang-barang temannya. Kebiasaan itu makin menjadi. Kemarin saya mendapat laporan dari sebuah toko swalayan bahwa anak saya mengambil lima buah VCD. Padahal di rumah ia banyak mempunyai VCD.

DEMIKIAN tulis seorang ayah tentang kebiasaan anaknya mencuri. Padahal uang buat anak ini tidak merupakan masalah karena ia mempunyai tabungan yang cukup. Saya pun memberikan uang sesuai dengan kebutuhannya. Saya berusaha akan memenuhinya karena saya cuma mempunyai dua orang anak. Saya malu dengan orang lain seakan­-akan saya tidak pernah memberi uang. Apa yang dicurinya dibiarkan tergeletak di kamarnya dan tidak digunakan.

Di rumah, mainan banyak sekali. Apapun yang dipunyai temannya ia juga punya. Jadi tidak ada alasan karena tidak punya ia sampai mencuri. Saya bersama istri menyayanginya. Namun setelah kejadian ini berulang, saya menjadi tidak sabar, merasa malu dan putus asa. Pernah sampai saya memukulnya karena tidak bisa dinasihati. Sekarang anak saya menjadi murung. Apakah anak saya memang pencuri? Apakah anak saya mempunyai kelainan jiwa?

Anak dengan gejala seperti terlukis di atas dimasukkan ke dalam kelompok besar gangguan kebiasaan dan impuls. Gangguan ini ditandai oleh tindakan yang dilakukan berulang, tidak mempunyai motivasi yang rasional dan jelas yang umumnya merugikan kepentingan pasien sendiri dan orang lain. Pasien melaporkan bahwa perilakunya disertai dengan impuls yang tidak dapat dikendalikan. Ia mencuri barang bukan untuk memilikinya. Ia mencuri barang itu karena terdorong secara tiba-tiba setelah melihat benda itu.

Anak tersebut didiagnosis dengan gangguan curi patologis (kleptomania), yakni gangguan yang ditandai oleh kegagalan menahan dorongan yang berulang-ulang untuk mencuri sesuatu yang tidak dibutuhkan atau tidak menghasilkan uang. Barang itu kemudian dibuang, diberikan kepada orang lain atau dikumpulkan. Sebelum melakukan tindakan, ia mengalami ketegangan dan merasa puas pada saat melakukan tindakan dan segera sesudahnya. Ia tidak melakukan tindakan mencuri pada setiap ada kesempatan. Di antara episode pencurian di toko atau kesempatan lain, sering penderita merasa murung, gelisah dan merasa bersalah. Namun perasaan ini tidak menghentikan dorongan mencuri pada saat muncul secara tiba-tiba.

Anak itu tidak merencanakan melakukan aksi mencuri. Dorongan untuk melakukan itu muncul secara tiba-tiba. Setelah menyadari keadaannya, pada umumnya mereka yang melakukan tindakan ini merasa malu dan jarang melaporkan perilakunya ini. Apa yang menyebabkan keadaan ini, belum diketahui secara pasti. Ada yang menduga dari pandangan psikodinamika karena ada pertahanan melawan impuls, keinginan, konflik atau kebutuhan yang menakutkan di alam bawah sadar. Impuls atau keinginan ini merupakan refleksi motif seksual atau masochistic (kesenangan karena menderita) dan tindakan mencuri merupakan pengeluaran impuls yang menunjukkan mekanisme narsisistik individu yang mudah dikritik untuk mencegah pengecilan diri.

Kebanyakan penelitian menyokong pendapat bahwa seseorang dengan kleptomania mempunyai keruwetan dan disfungsi pada masa kanak-kanaknya. Dorongan mencuri adalah usaha untuk mengembalikan kekurangan pada masa kanak-kanak dini ini. Kleptomania sering ditemukan merupakan bagian dari spektrum gangguan afektif, atau memperlihatkan gejala obsesif kompulsif termasuk kompulsif dalam mencuci tangan, membersihkan, memeriksa, mengumpulkan dan membeli sesuatu atau gangguan makan terutama bulemia. Kleptomania erat hubungan dengan sistem serotonergik. Kleptomania adalah penyakit kronik, umumnya dimulai pada akhir remaja dan kemudian berlanjut beberapa tahun kemudian.

Cara Mengatasi BERDASARKAN pemahaman bahwa gangguan ini disebabkan masa kecil yang tidak terpuaskan yang bisa menimbulkan kegelisahan atau depresi, banyak spikiater mencoba memberikan obat anti-sedih. Namun banyak yang menyembuhkan penderita dengan melakukan pendekatan psikoterapi dengan cara memperbaiki perilaku atau mengubah cara pemahaman penderita mengenai dirinya. Penyembuhan dengan pendekatan psikoterapi dengan orientasi pemahaman memerlukan waktu panjang bisa 2-3 thun. Ada baiknya dilakukan pendekatan untuk mengenal dirinya melalui meditasi. Dengan meditasi, penderita diajar untuk memusatkan pikirannya. Bila ia bisa melakukan pemusatan pikiran dan kemudian ia bisa tidur nyenyak, maka keseimbangan yang diperoleh ini akan meningkatkan fungsi sistem yang ada dalam tubuhnya.

Sistem saraf otonom, sistem daya tahan tubuh dan sistem hormonal akan bekerja bersama-sama dalam keadaan seimbang yang mempengaruhi sistem neurotransmiter. Keseimbangan neurotransmiter ini akan meningkatkan kesadaran anak yang menyebabkan adanya pemahaman diri. Jika dengan dirinya sendiri ia belum mampu untuk memahami dirinya dan mengontrol dirinya, maka anak perlu ditangani oleh psikiater untuk mendapatkan psikoterapi meditasi sehingga proses pemahaman bisa diperoleh lebih cepat.

Jika permasalahannya lebih banyak disebabkan oleh masa kecil yang tidak terpuaskan, maka memperbaiki trauma masa lampau sangat membantu anak memahami dirinya. Anak akan dibawa untuk merasakan apa yang terjadi waktu
kanak-kanak dan menyelesaikan permasalahannya itu. Kalau permasalahan waktu kecil sudah dipahami seumur munculnya masalah itu, maka diharapkan editing sejak mulai adanya permasalahan sampai ke keadaan sekarang akan terjadi secara otomatis yang dilakukan oleh sendiri dirinya. Dengan anak ini melakukan meditasi selama 10 menit setiap hari dua kali, diharapkan disiplin diri sudah terbentuk, pengontrolan diri sudah terlatih sehingga munculnya impuls untuk mencuri bisa segera disadari dan dicegah untuk bertindak.

PENYELESAIAN MASALAH Bagaimana membantu anak untuk mengatasi masalah kebiasaan suka mencuri ini? Diharapkan beberapa cara penyelesaian di bawah ini dapat memberikan petunjuk kepada orang tua dan guru.

1. Mencukupi kebutuhan anak.Banyak anak suka mencuri karena keinginan yang dibutuhkan belum terpenuhi. Sebaiknya orang tua mengoreksi diri,apakah ada kebutuhan anak yang belum dicukupi? Kelalaian itu bisa terjadi dalam bentuk: tidak memberi makanan yangbergizi, atau tidak menyediakan alat tulis yang dibutuhkan, atau keperluan sehari- hari lainnya. Semuanya itu akanmembuat anak tergoda untuk melakukan pencurian.

2. Memberi perhatian yang cukup.Ada pencurian karena adanya ketidakstabilan dalam jiwa anak. Orang tua yang sibuk hanya tahu mencukupi kebutuhananak secara materi, tetapi melalaikan kebutuhan rohaninya. Bila anak itu sehat, puas dan stabil jwanya, tidak mungkin iamencuri untuk mencari perhatian orang dewasa.

3. Mengenali pergaulan anak.Ketika diketahui anak mulai suka mencuri, segera selidiki lebih dahulu tentang teman-temannya. Apakah ia bergauldengan teman-teman yang berperangai buruk, yang menganggap mencuri itu satu keberanian atau mereka diancamuntuk mencuri. Jika benar teman-teman itu yang bermasalah, maka dengan sabar orang tua harus mengajar anak dan menjelaskan akibat buruk dari mencuri itu.

4. Menyelidiki motivasinya.Selain unsur di atas, mungkin masih ada motivasi yang tersembunyi yang mendorong anak itu mencuri. Cobalah untuk mengetahui kehidupan sosial anak itu, mungkin mereka sedang berpacaran atau sedang terjerumus pada obat-obat terlarang seperti: ganja atau minuman keras. Bila orang tua dengan teliti menyelidiki motivasi anak mencuri, maka akan lebih mudah mengatasi masalahnya.

5. Memasukkan konsep nilai yang benar. Sejak kecil orang tua sudah harus mendidik perbedaan antara "ini milik kamu" dan "ini milik saya". Jangan membiarkan anak sembarangan mengambil barang orang lain. Kalau dalam tas atau di saku ditemukan barang milik teman, anak harus segera mengembalikannya. Menerapkan konsep yang benar harus disertai dengan teladan yang baik supaya anak tidak tamak terhadap hal apa pun sekalipun itu hal yang kecil atau sembarangan meminjam barang milik orang lain. Berikanlah penghargaan dan pujian bila mereka mampu mengurus atau mengatur barangnya sendiri.

6. Melakukan usaha secara bersama. Jika anak sendiri tidak berniat untuk membuang kebiasaan yang jelek, meskipun orang tua atau guru memaksa atau menekan mereka, hasilnya tetap akan sia-sia. Usahakanlah untuk bekerja sama dengan anak, menasihati dan menjelaskan sebab-akibat dari tindak mencuri, atau membantu mereka untuk mencari jalan ke luar yang bisa dilakukan, kemudian berdoalah bersama mereka agar bersandar pada anugerah Tuhan untuk hidup dalam kemenangan.

7. Mendidiknya dalam kebenaran.Hati nurani manusiapun berbicara bahwa mencuri itu dosa dan Allah akan menghukum dosa itu. Apabila anak itu dalam kelemahannya telah berbuat dosa, berikan pengertian bahwa ia tetap disayangi, apalagi oleh Allah, jika mau bertaubatdan berjanji tidak akan mengulangi lagi. //***

Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga

Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negeri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?KEBANYAKAN orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita menunjukkan eksistensi diri di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah. Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama, Sekarang kerja dimana? rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk Saya adalah ibu rumah tangga. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu, sukses berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-­anak, dia harus berhadapan dengan nasehat dari bapak tercintanya: Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak. Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Menjadi pendamping suami, menguruh rumah tangga. Seorang ulama mengatakan, bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.


Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih BAGAIMANA rasanya hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia lima tahun mulai menumpuk, lalu kita bertanya, Mau untuk apa Nak, tabungannya? Mata rasanya haru ketika anak menjawab, Mau buat beli CD murotal, Ma! Padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab: Mau buat beli PS! Atau ketika ditanya tentang cita-cita, Adek pengen jadi ulama! Haru mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi pengen jadi Superman! Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Taala. Lalu, jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menyerahkan masa depan anak-anak kepada pembantu, atau membiarkan anak tumbuh begitu saja? Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang, sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan kehidupan yang rusak di akhir zaman atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya? Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! Sangat jauh perbandingannya. Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibunya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-­anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan.Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Taala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia. Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka? Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa, padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita
tidak pernah mengajari anak-anak untuk berdoa? Lalu masihkah kita mengatakan profesi ibu rumah tangga dengan kata cuma dengan suara yang lirih sambil tertunduk malu dan? //***

Impian dan Teladan Seorang Ayah

Rubrik KELUARGA kali ini, Redaksi sadurkan sebuah cerita yang luar biasa dari buku Chicken Soup for the Parent Soul. Sebuah cerita yang menunjukkan besarnya cinta seorang ayah ke anaknya agar anaknya memperoleh nasib yang jauh lebih baik dari dirinya. Tetapi dalam prosesnya, Ayah ini tidak saja menunjukkan cintanya pada anaknya tetapi juga menunjukkan sesuatu yang sangat berharga yaitu pelajaran tentang impian, tekad, teladan seorang ayah, disiplin dan pantang menyerah. Semoga cerita ini menginspirasi bagi kita semua.

SETAHUKU, botol acar besar itu selalu ada di lantai di samping lemari di kamar orangtuaku. Sebelum tidur, Ayah selalu mengosongkan kantong celananya lalu memasukkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Sebagai anak kecil, aku senang mendengar gemerincing koin yang dijatuhkan ke dalam botol itu. Bunyi gemerincingnya nyaring jika botol itu baru terisi sedikit. Nada gemerincingnya menjadi rendah ketika isinya semakin penuh. Aku suka jongkok di lantai di depan botol itu, mengagumi keping-keping perak dan tembaga yang berkilauan seperti harta karun bajak laut ketika sinar matahari menembus jendela kamar tidur.

Jika isinya sudah penuh, Ayah menuangkan koin-koin itu ke meja dapur, menghitung jumlahnya sebelum membawanya ke Bank untuk membayar premi polis asuransi pendidikan. Membawa keping-keping koin itu ke Bank selalu merupakan peristiwa besar. Koin-koin itu ditata rapi di dalam kotak kardus dan diletakkan di antara aku dan ayah di atas sepeda motor tuanya. Setiap kali kami pergi ke Bank, Ayah memandangku dengan penuh harap. Karena koin-koin ini kau kelak tidak perlu bekerja mengayuh becak seperti ayahmu ini. Nasibmu akan lebih baik daripada nasib ayahmu. Setiap kali menyorongkan kotak kardus berisi koin itu ke kasir Bank, Ayah selalu tersenyum bangga. Ini uang kuliah anakku. Dia takkan bekerja mengayuh becak seumur hidup seperti aku.

Pulang dari Bank, kami selalu merayakan peristiwa itu dengan membeli es krim. Aku selalu memilih es krim cokelat. Ayah memilih yang vanila. Setelah menerima kembalian dari penjual es krim, Ayah selalu menunjukkan beberapa keping koin kembalian itu kepadaku. Sampai di rumah, kita isi botol itu lagi.

Ayah selalu menyuruhku memasukkan koin-koin pertama ke dalam botol yang masih kosong. Ketika koin-koin itu jatuh bergemerincing nyaring, kami saling berpandangan sambil tersenyum. Kau akan bisa kuliah dengan koin duaratus, lima ratus, dan seribu rupiah ini, katanya. Kau pasti bisa kuliah. Insya Allah.

Tahun demi tahun berlalu. Aku akhirnya memang berhasil kuliah dan lulus dari universitas dan mendapat pekerjaan dikota lain. Pernah, waktu mengunjungi orang tuaku, aku masuk ke kamar tidur mereka. Kulihat botol acar itu tak ada lagi.Botol acar itu sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah di pindahkan entah ke mana. Leherku serasa tercekat ketika mataku memandang lantai di samping lemari tempat botol acar itu biasa diletakkan. Ayahku bukan orang yang banyak bicara, dia tidak pernah menceramahi aku tentang pentingnya tekad yang kuat,ketekunan, dan keyakinan. Bagiku, botol acar itu telah mengajarkan nilai-nilai itu dengan lebih nyata daripada kata-kataindah.

Setelah menikah, kuceritakan kepada Fatimah, istriku, betapa pentingnya peran botol acar yang tampaknya sepele itu dalam hidupku. Bagiku, botol acar itu melambangkan betapa besarnya cinta Ayah padaku. Dalam keadaan keuangan sesulit apa pun, setiap malam Ayah selalu mengisi botol acar itu dengan koin. Bahkan di kala ayah sakit sehingga tidak mampu mengayuh becak, dan Ibu terpaksa hanya menyajikan tempe goring dengan sambal bawang selama berminggu-minggu, satu keping pun tak pernah diambil dari botol acar itu. Sebaliknya, sambil memandangku dari seberang meja dan mencolekkan sepotong tempe ke sambal, Ayah semakin meneguhkan tekadnya untuk mencarikan jalan keluar bagiku. Kalau kau sudah tamat kuliah, katanya dengan mata berkilat-kilat, Kau tak perlu makan hanya dengan sambal bawang dan tempe seperti ini kecuali jika kau memang mau.

Liburan akhir tahun pertama setelah lahirnya putri kami Fitri, kami habiskan di rumah orangtuaku. Setelah makan malam, Ayah dan Ibu duduk berdampingan di sofa, bergantian memandang cucu pertama mereka. Fitri menagis lirih. Kemudian Fatimah mengambilnya dari pelukan Ayah. Mungkin popoknya basah, kata Fatimah, lalu di bawanya Fitri ke kamar tidur orang tuaku untuk di ganti popoknya.

Fatimah kembali ke ruang keluarga dengan mata berkaca-kaca. Dia meletakkan Fitri ke pangkuan Ayah, lalu menggandeng tanganku dan tanpa berkata apa-apa mengajakku ke kamar. Lihat, katanya lembut,matanya memandang lantai di samping lemari. Aku terkejut. Di lantai, seakan tidak pernah disingkirkan, berdiri botol acar yang sudah tua itu. Di dalamnya ada beberapa keping koin. Aku mendekati botol itu, merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan segenggam koin. Dengan perasaan haru,kumasukkan koin-koin itu ke dalam botol. Aku mengangkat kepala dan melihat Ayah. Dia menggendong Fitri dan tanpa suara telah masuk ke kamar. Kami berpandangan. Aku tahu, Ayah juga merasakan keharuan yang sama. Kami takkuasa berkata-kata ***

Jumat, 28 Agustus 2009

Mendidik Anak Tanpa Kekerasan

Mendidik Anak Tanpa Kekerasan

Sering kita mendengar orangtua mengeluh, Anak saya ini kalau diomongin susah nurutnya. Bagaimana sih caranya agar anak nurut dengan orangtua? Apa musti dipukul dulu baru nurut? Apakah Anda termasuk orang orangtua yang mempunyai permasalahan seperti ini? Tetapi, apakah mendidik anak harus dengan kekerasan? Cobalah simak kisah tentang mendidik anak tanpa kekerasan di bawah ini.

PADA suatu hari Dr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi, memberi ceramah di Universitas Puerto Rico. Ia menceritakan suatu kisah dalam hidupnya. Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orangtua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop. Pada suatu saat, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya mengerjakan beberapa pekerjaan tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel. Pagi itu setiba di tempat konferensi, ayah berkata: Ayah tunggu kau di sini jam lima sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.

Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah dan ibu. Kemudian saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjuk pukul 17.30, langsung saya berlari menuju bengkel mobil dan buru-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18.00 !

Dengan gelisah ayah menanyai saya: Kenapa kau terlambat? Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton bioskop sehingga saya menjawab, Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu. Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan engkau sehingga engkau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarkanlah ayah pulang berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.

Lalu dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap dan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami beliau hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan. Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi. Seringkali saya berpikir mengenai kejadian ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya, sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapat sebuah pelajaran mengenai mendidik tanpa kekerasan? Kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu, menyadarinya sedikit dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru terasa kemarin. Itulah kekuatan bertindak tanpa kekerasan

Ketika kita berhasil menancapkan suatu pesan yang sangat kuat di bawah sadar seorang anak maka informasi itu akan langsung mempengaruhi perilakunya. Itulah salah satu bentuk hypnosis yang sangat kuat. Apakah hal sebaliknya bisa terjadi? Ya bisa saja! Oleh karena itu kita perlu keyakinan penuh dalam melakukannya sehingga hasil positif yang kita inginkan pasti tercapai. Hal ini memerlukan pemikiran yang mendalam dan kesadaran diri yang kuat dan terlatih. Janganlah bertindak karena reaksi spontan belaka dan kemudian menyesal setelah melakukannya. Jika kita mau berpikir sedikit ke belakang ke masa di mana anak-anak kita masih kecil sekali maka di masa itulah semua ;bibit; perilaku dan sikap ditanamkan. ;Bibit; perilaku dan sikap inilah yang kelak akan mewarnai kehidupan remaja dan dewasanya. Siapakah yang menanamkan ;bibi; perilaku dan sikap itu untuk pertama kalinya ? Ya anda pasti sudah tahu jawabnya, kitalah orangtua yang menanamkan segala macam ;bibit; perilaku dan sikap itu.
Bagaimana jika sebagian besar waktu anak dihabiskan dengan pengasuhnya (baby sitter). Ya berdoalah semoga pengasuh anak anda mempunyai pemikiran bijaksana dan bisa mempengaruhi anak anda secara positif. Berharaplah pengasuh anak (baby sitter) anda mengerti cara kerja pikiran dan mengerti bagaimana bersikap, berucap dan bertindak dengan baik agar anak anda memperoleh ;bibit; sikap dan perilaku yang baik.

Seseorang bisa menjadi baik atau buruk pasti karena sesuatu sebab;. Perilaku, ucapan, sikap, dan pikiran yang baik atau buruk hanyalah suatu rentetan ;akibat; dari suatu ;sebab; yang telah ditanamkan terlebih dahulu. Mungkinkah terjadi akibat; tanpa ;sebab ? Mungkinkah anak kita berbohong tanpa sebab, mungkinkah anak kita ;nakal; tanpa sebab, mungkinkah anak kita rewel tanpa sebab?

Sebagai orangtua kita wajib mencari tahu apa penyebabnya. Tidaklah pantas sebagai orangtua kita langsung bereaksi spontan begitu saja tanpa memikirkan apa yang baru saja kita perbuat. Bukankah ini akan memberi contoh baru bagi

anak kita tentang bagaimana bertindak dan bersikap? Sewaktu kita mempunyai anak maka kita menjadi orangtua, tetapi kita tidak pernah punya pengalaman menjadi orangtua. Kita mempunyai pengalaman menjadi anak. Jadi kita harus mendidik diri kita sendiri dengan belajar dari anak­anak. Bukan belajar dari apa yang dilakukan orangtua pada kita. Ingatlah perasaan sewaktu kita masih menjadi anak­anak. Amati mereka dan tanggapilah dengan penuh perhatian apa yang mereka inginkan. Pengharapan, perlakuan dan pengakuan seperti apa yang kita inginkan dari orangtua yang tidak pernah terpenuhi? Perlakukan anak-anak seperti kita ingin diperlakukan! Jangan perlakukan anak-anak seperti apa yang dilakukan orangtua pada kita.

Kamis, 27 Agustus 2009

Filosofi Dari Makna Hidup

Ini mengingatkan saya ke sebuah buku dengan judul
=> When Is Enough Enough <=
Dengan tingkat kontrol dan pengendalian diri yang rendah.
Cukup memang tidak akan mengenal rasa cukup.
Uang tidak pernah mengenal batas jumlah.
Rumah tidak pernah ada batas sempurnanya.
Mobil selalu disusul dengan model yang lebih baru dan lebih bagus.
Sekolah kemanapun selalu ada rasa kurang.
Orang dengan tingkat pengendalian diri yang minimal ini,
Sebenarnya mirip dengan berlari mengejar bayangannya sendiri.
Semakin dikejar semakin lari.
Kita diam dia diam juga.
Energi habis tidak untuk mencapai tujuan.
Tetapi habis untuk mengikuti nafsu yang tidak terkendali.
Kedamaian, dalam hal ini, menjadi bayangan yang lari setiap kita kejar.
Padahal, ia ada di sini, dalam cara kita hidup dan menikmati kehidupan.